Wednesday, November 30, 2016

Eksaminasi Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Nomor : 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk

Eksaminasi Putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Nomor : 63/Pdt.G/2011/PTA.Yk berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi syariah maupun peraturan perundang-undangan berlaku yang mengakomodir prinsip-prinsip syariah.

1.Kedudukan para pihak dalam akad syariah
·         Yuli Trisniati, SH yang semula sebagai penggugat sekarang menjadi pembanding
·         Bambang Witanto yang semula sebagai tergugat sekarang menjadi terbanding
·         Sri Wardoyo, ST yang semula sebagai turut tergugat sekarang menjadi turut terbanding

2.Konsep akad syariah
Mudharabah

3.Kompetensi absolut pengadilan
Merupakan wewenang Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Dikarenakan bahwa perkara ini termasuk bidang ekonomi syariah usaha koperasi syariah BMT Isra dalam bentuk “Simpanan Penjamin Kebutuhan Keluarga (Si Penjaga)” sesuai dengan UU No. 25 Tahun 1992, dan huruf B. 1. a dan b Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 Tentang Pedoman SOP Managemet Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS), dapat digolongkan kedalam usaha mikro syariah, sesuai dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 pada penjelasan huruf i, tentang perubahan pertama UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, merupakan wewenang Pengadilan Agama.

4.Landasan hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan antara lain:
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan bahwa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian/akad adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Menurut Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)/Perma No. 2 Tahun 2008), menyebutkan bahwa rukun dan syarat akad sebagai berikut :
1. Pihak-pihak yang berakad
2. Objek akad
3. Tujuan pokok akad
4. Kesepakatan.
Dan angka kedua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang rukun dan syarat pembiayaan berbunyi :
1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal hal berikut :
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak(akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak

ü  Tolak ukur keabsahan kontrak
Bahwa syarat-syarat perjanjian dalam KHUPerdata angka pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, telah dipenuhi yaitu Penggugat-Pembanding dan Tergugat-Terbanding, dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif dapat dilihat pada transaksi yang dilakukan Penggugat-Pembanding dan Tergugat-Terbanding yaitu dalam hal simpanan/investasi Penggugat-Pembanding sebesar Rp. 250.000.000,- untuk dikelola oleh Tergugat-Terbanding dalam bentuk mudharobah muthlaqah dengan nisbah tetap sebesar Rp. 6.375.000,- (Enam juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) setiap bulannya.
Bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dikatakan rukun dan syarat akad yang 4 (empat) macam itu telah terpenuhi, pertama adalah Penggugat-Pembanding dan Tergugat-Terbanding, kedua yaitu usaha mudharobah dan ketiga untuk mencari keuntungan untuk kebutuhan keluarga dan keempat kesepakatan yang ditandai dengan pengisian formulir oleh Penggugat-Pembanding dan penerbitan sertifikat Koperasi Serba Usaha Syari’ah oleh Tergugat-Terbanding

ü  Terjadinya cidera janji (wanprestasi)
Bahwa pembayaran nisbah bagi hasil berjalan secara baik selama 4 (empat) bulan, yaitu pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September 2010, Penggugat-Pembanding memasukkan modal pada tanggal 10 Mei 2010 dan mulai bulan Juni 2010 sampai bulan September 2010 nisbah berjalan lancar, namun sejak Oktober 2010 pembayaran nisbah menjadi macet.
Bahwa Penggugat-Pembanding mohon agar Tergugat-Terbanding dinyatakan melakukan wanprestasi / ingkar janji yang merugikan Penggugat-Pembanding, baik materil ataupun immateri minta ditangung Tergugat-Terbanding

ü  Ganti Rugi
Menimbang, bahwa Tergugat-Terbanding telah nyata-nyata telah melakukan ingkar janji (wanprestasi), dan oleh karenanya Tergugat-Terbanding berkewajiban membayar kepada Penggugat-Pembanding pemenuhan perjanjian, ganti rugi dari keuntungan yang diharapkan, dan pengembalian modal/simpanan/investasi penggugatpembanding sebagai berikut:
1. Memenuhi perjanjiannya yaitu sampai dengan bulan Oktober 2010 sebesar 2 x Rp.6.375.000,- = Rp. 12.750.000,- (dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
2. Ganti rugi Selama 8 (delapan) bulan sebesar Rp. 6.375.000,-/bulan = Rp. 6.375.000,- x 8 bulan = Rp. 51.000.000,- (lima puluh satu juta rupiah)
3. Mengembalikan modal/simpanan/investasi Penggugat-Pembanding sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) setelah dikurangi sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) gadai Sertifikat Simpanan Berjangka
Jumlah keseluruhan Rp. 263.750.000,- (dua ratus enam puluh tiga juta tujuh ratus ribu rupiah)

5.Kesimpulan Pendapat Hukum
Menerima permohonan banding pembanding
Membatalkan putusan Pengadilan Agama Bantul No. 0463/Pdt.G/2011/PA.Btl Tgl 17 Oktober 2011
Dan Dengan Mengadili Sendiri :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
2. Menyatakan sita jaminan yang diletakkan atas sebidang tanah beserta bangunan diatasnya sebagaimana tercatat dalam sertifikat Hak Milik No. 513 atas nama Sri Wardoyo seluas 83 m2 yang terletak di Dongkelan, Panggungharjo, Sewon, Bantul dengan batas-batas sebagai berikut :
                A. Sebelah Utara : Tanah pekarangan milik Petrus Sugiyanto
                B. Sebelah timur : Tanah pekarangan milik Madiyo
                C. Sebelah Selatan : Tanah pekarangan milik Bakhroni
                D. Sebelah barat : Jalan Bantul adalah sah dan berharga
3. Menyatakan Tergugat melakukan ingkar janji/waprestasi
4. Menghukum Tergugat karenanya untuk membayar kepada Penggugat berupa:
                a. Nisbah yang tersisa terhitung mulai bulan ke-lima (Oktober 2010) sebesar Rp.                                       12.750.000,-(dua belas juta tujuh ratus lima puluh rupiah )
                b. Uang ganti rugi selama 8 bulan x Rp. 6.375.000,- = Rp. 51.000.000,- (lima puluh satu juta rupiah)
                c. Pengembalian uang simpanan/investasi pokok sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
5. Menolak yang lain dan selebihnya
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara tingkat pertama yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 2. 231. 000,00- (dua juta dua ratus ribu tiga puluh satu ribu rupiah)
Menghukum kepada Terbanding untuk membayar biaya pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)

Perbedaan Asas Dekonsentrasi, Asas Tugas Pembantuan, dan Asas Pemerintahan Konkuren

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan diatur dengan peraturan pemerintah.”

Untuk memberikan ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut maka perlu adanya Peraturan Pemerintah tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang mengaturnya. Oleh karena itu yang menjadi ketentuan lebih lanjut tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tersebut ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.

Cakupan penyelenggaraan dekonsentrasi yang dalam Peraturan Pemerintahan ini terdapat pada Bab IV meliputi pelimpahan urusan pemerintahan, tata cara pelimpahan, tata cara penyelenggaraan, dan tata cara penarikan pelimpahan.

Pengelolaan dana dekonsentrasi yang dalam Peraturan Pemerintahan ini terdapat pada Bab V meliputi prinsip pendanaan perencanaan dan penganggaran penyaluran dan pelaksanaan dan pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi.

Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi yang dalam Peraturan Pemerintahan ini terdapat pada Bab VI meliputi penyelenggaraan dekonsentrasi dan pengelolaan dana dekonsentrasi.

Sedangkan menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, penyelenggaraan tugas pembantuan meliputi penugasan urusan pemerintahan, tata cara penugasan, tata cara penyelenggaraan, dan penghentian tugas pembantuan.

Pengelolaan dana tugas pembantuan yang dalam Peraturan Pemerintahan ini terdapat pada Bab VII meliputi prinsip pendanaan perencanaan dan penganggaran, penyaluran dan pelaksanaan, dan pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan tugas pembantuan.

Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan yang dalam Peraturan Pemerintahan ini terdapat pada Bab VIII meliputi penyelenggaraan tugas pembantuan, dan pengelolaan dana tugas pembantuan.

Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Di samping itu, sebagai konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
a.terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
b.terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar daerah
c.terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan di daerah
d.teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya daerah
e.tercapainya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, serta pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat
f.terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa. Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota.

Dana dekonsentrasi pada hakekatnya merupakan bagian anggaran kementerian/lembaga yang dialokasikan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di wilayah propinsi, sesuai dengan beban dan jenis kewenangan yang dilimpahkan dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada yang memberikan pelimpahan. Sementara dana tugas pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian/lembaga yang dialokasikan untuk daerah provinsi atau kabupaten/kota, dan/atau desa sesuai dengan beban dan jenis penugasan yang diberikan dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada yang memberikan penugasan. Pendanaan tugas pembantuan dari Pemerintah kepada pemerintah desa hanya dapat dilakukan untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan tertentu setelah mendapat persetujuan dari Presiden.

Pengalokasian dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pencapaian kinerja, efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pembangunan di daerah, serta menciptakan keselarasan dan sinergitas secara nasional antara program dan kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan yang didanai dari APBN dengan program dan kegiatan desentralisasi yang didanai dari APBD. Selain itu, pengalokasian dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan juga dimaksudkan untuk lebih menjamin tersedianya sebagian anggaran kementerian/lembaga bagi pelaksanaan program dan kegiatan yang sudah ditetapkan dalam Renja-KL yang mengacu pada RKP.

Untuk mencapai adanya keselarasan dan sinergitas tersebut di atas, maka dalam penyusunan RKA-KL terlebih dahulu dilakukan proses komunikasi dan perencanaan yang baik antara kementerian/lembaga dengan gubernur yang akan menerima kegiatan pelimpahan wewenang, dan dengan daerah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau desa yang akan menerima kegiatan tugas pembantuan. Proses komunikasi dan perencanaan tersebut diharapkan dapat tercipta adanya sistem perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi dalam kaitannya dengan penyelarasan dan penyesuaian Renja-KL menjadi RKA-KL yang telah dirinci menurut unit organisasi berikut program dan kegiatannya, termasuk alokasi sementara untuk pendanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan juga menentukan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan dekonsentrasi, penyelenggaraan tugas pembantuan, serta pendanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Pemerintahan Konkuren

Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diatur dalam peraturan pemerintah.”

Untuk memberikan ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut maka perlu adanya Peraturan Pemerintah tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang mengaturnya. Oleh karena itu yang menjadi ketentuan lebih lanjut tersebut yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menentukan bahwa urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang disebut juga dengan “urusan pemerintahan yang bersifat konkuren” adalah urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya Pemerintah, yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.

Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.

ANALISIS KASUS BANK CENTURY

KRONOLOGIS KASUS BANK CENTURY

Tanggal 16 November 2008 di KantorBank Indonesia (BI) yang dihadiri oleh menteri keuangan/(KSSK) Sri Mulyani Indrwati,Gubernur BI Boediono,Deputi Gubernur Senior Miranda Gultom,Deputi gubernur Mulyaman Hadat dan Siti Kolimah Fadria Deputi Gubernur Syariah,serta Fuad Rahmatni dan noer rahmat(perwakilan bapepam-lk) melakuan rapat dalam proses menetapan bank century sebagai Bank gagal berdampak sistemik,agar mendapatkan biaya penyelamatan senilai total 6,76 triliun dari lembaga peminjaman simpanan sebesar 6,76 Triliun,pada 20 November 2008 di ruan rapat gubernur BI menhasilkan arahan bahwa DGBI tdak menginnginkan bank century sebagai bank gagal dan diserahkan pengelolaan nya kepada lps untuk ditutup,melainka ingin bank century tetap beroperasi dan tidak menjadi Bank Gagal namun karena timbul kekhawatiran KSSK tidak akan menyetujui bank century bank gagal berdamapak sitemik maka Boedi Mulya meyalahgunakan kewenangannya dalam jabatan nya untuk menyatakan tidak setuju dengan lampiran data yang disampaikan Halim Halamsyah(Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI) permintaan bodei mulya itu didukung Miranda Gultom

Siti Kolimahmemperbaikin ringkasan eksekutif mengenai bank century,yaitu pertama PT Bank Century dutepakan sebagai bank gagal dan diserahkan kepada LPS.dengan pertimbangan belum melampaui jangka pengwasan khusus 6 Bulan.yang kedua untuk memnuhi kebutuhan likuiditas bank cenututy untuk menyeesaikan perhitungan adalah 6,56 Triliun.pada 21 Nvember 2008 rapat yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan seperti Sri Mulyani,Raden Pardate,Boediono dan beberapa ketua LPS seperti Rujito,Fuad Rahmani,Anggito Abimanyu serta konsutan hukum arif sujowijojo memutuskan bank century sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga perlu diberinya Bail Out kepada Bank Century sebesar 6,76 triliun dengan pembayran yang dilakukan bertahap

ANALISIS

Kasus Bank Century termasuk dalam Kejahatan Korporasi karena kasus tersebut pada putusan awal bank Century dianggap sebagai bank gagal dan akan ditutup serta bank century akan mendapat konpensasi 6,7 triliun akan tetapi pada rapat kedua yang diadakan oleh DGBI bank century tidak dapat dikatakan sebagai bank gagal dan tidak akan mendapatkan konpensasi 6,7 triliun.

Terjadi keanehan pada rapat ketiga yang merubah semua putusan di rapat kedua yaitu seluruh deputi setuju bahwa bank century sebagai bank gagal dan akan mendapat dana bantuan sebesar 6,7 triliun untuk melunasi hutangnya.

Bank century pada saat itu telah mengalami kerugian 3,53 %  akan tetapi oleh Bank Indonesia telah memberi dana bantuan sebesar Rp. 689 miliar akan tetapi hutang yang dimiliki oleh bank century sebesar Rp. 869 miliar sehingga masih ada kerugian yang diderita oleh bank century sebesar Rp. 170 miliar yang harus ditanggung oleh Robert Tantular selaku pemegang saham di Bank Century, maka dapat dikatakan bahwa hal ini adalah penyebab berubahnya putusan rapat ketiga karena robert tantulah tidak ingin mengalami kerugian sehingga ia meminta bantuan kepada Budi Mulya selaku Deputi Gubernur BI untuk menganggap bank Century sebagai bank gagal dan berhak untuk mendapat bantuan dana sebesar 6,7 triliun dan pendapat dari budi mulya juga di dukung oleh Miranda Gultom, akan tetapi menurut data yang dimiliki oleh Halim Alamsyah bank century tidak dapat dikatakan sebagai bank gagal yang berdampak sistemi dan tidak berhak untuk mendapat bantuan dana 6,7 triliun akan tetapi Budi Mulya menyalahgunakan kewenangannya dan memerintahkan Halim Alamsyah untuk tidak melampirkan data yang ia miliki. Akan tetapi setelah dana bantuan 6,7 triliun diberikan dana tersebut hilang dan tidak jelas sehingga dapat dikataka bahwa kasus ini termasuk jenis kejahatan korporasi yang Crimes Against Corporation karena terjadi penyalahgunaan kedudukan yang dilakukan oleh Budi Mulya. Dan dalam kasus ini dapat dilakukan pertanggung jawaban pidana menggunakan teori Identifikasi karena pelakunya adalah orang yeng memiliki kedudukan yang tinggi.

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

Didalam kasus ini dapat dimintakan pertanggung  jawaban pidana dengan menggunakan teori identifikasi. Dalam teori ini semua tindakan aa tindak pidana yang dapat diidentifikasikan dengan organisasi mereka atau yang disebut “ who contitue its directing mind “ yaitu indifidu yang mempunyai tingkatan meager yang dalam tugasnya tidak dalam perintah atau kewenangan.

Dalam kasus tersebut orang-orang yang melakukan tindak pidana merupakan orang-orang yang memiliki jabatan penting seperti pemegang saham dan pejabat bank century yaiyu robert tantular, deputi gubernur BI Budi mulya, deputi senior Bi Miranda gultom.

Penyadapan dalam Hukum Internasional dan Implikasi Terhadap Penegakan Kejahatan Luar Biasa

Penyadapan itu dilarang dikarenakan:

ØMelanggar hak-hak dasar sipil (Pasal 12 UDHR 1948) yaitu setiap warga negara berhak atas kerahasian informasi yang dimilikinya
ØLarangan penyadapan bagi diplomatik berkaitan dengan hak-hak keistimewaan dan kekebalan diplomatik dan Intelijen (Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961)
ØLarangan atas dasar Due Process of Law

Penyadapan itu diperbolehkan jika:

üSebagai Lex Specially, yaitu untuk kepentingan penegakan hukum kejahatan luar biasa dan kepentingan negara (kecuali dengan ketentuan-ketentuan hukum) terbatas pada national security
üUntuk kepentingan negara dalam melindungi masyarakat, seperti untuk keperluan KPK atau badan narkotika
üDiatur di dalam hukum seperti KUHAP dan tidak boleh bersinggungan dengan yang diatur di dalamnya
üHanya boleh dilakukan oleh instrumen negara

Fenomena penyadapan sebagai Lex Specially dalam kejahatan Internasiona

Ciri-cirinya yaitu:
§  Universal Jurisdiction
§  Pre-emptive strike
§  Tidak mengenal pemaafan
§  Berlaku surut

Faktor penyebab adanya peristiwa penyadapan:

vNegara-negara memiliki teknologi tinggi untuk membuat alat penyadapan, informasi yang dulunya dirahasiakan sekarang menjadi tidak dapat dirahasiakan lagi.
vAdanya peristiwa 11 September 2001, lalu muncul prinsip bahwa negara melakukan serangan dahulu tetapi urusan kemudian.

Secara Internasional konteks hubungan diplomatik penyadapan bukanlah kejahatan yang sesungguhnya, dikarenakan negara yang melakukan penyadapan tidak dapat dibawa ke peradilan internasional. Terdapat 5 ketentuan pelanggaran kode etik diplomasi yaitu:
1.Konsep penyadapan terhadap kedutaan sudah tidak digunakan lagi yaitu fisik tidak perlu hadir untuk melakukannya
2.Terkait dalam penyadapan informasi dan berkaitan dengan globalisasi informasi
3.Teroris menimbulkan tata tertib dan mengubah hukum internasional
4.Kerjasama Australia dan Indonesia
5.Financial support, bantuan militer jika negara sudah tidak memiliki angkatan bersenjata untuk bertahan

Simpulan

Secara yuridis penyadapan merupakan perbuatan yang dilarang. Penyadapan yang mulanya kejahatan absolut kemudian bergeser menjadi pelanggaran diplomasi.

SEJARAH HUKUM LAUT

Pada abad pertengahan awalnya Laut tengah berada di bawah kuasa Kerajaan Romawi yang menjadi penguasa wilayah daratan dan lautan benua Eropa, sehingga tidak ada satu negara pun yang berani menentangnya. Lalu pada saat jatuhnya Kerajaan Romawi, muncullah negara-negara yang mengklaim wilayah-wilayah laut yang menjadi bagian dari wilayahnya. Oleh karena itu negara-negara yang belum mengklaim wilayah lautnya merasa  dirugikan, karena negara-negara tersebut tidak bisa memanfaatkan sumber daya alam yang berasal dari laut  . Kemudian klaim dari negara-negara tersebut dikukuhkan oleh Paus Aleksander II (Penguasa tertinggi Gereja Katolik) dalam piagam Inter Cartera.

Klaim dari negara-negara tersebut kemudian mendapatkan perlawanan dari negara-negara yang merasa dirugikan dengan dibela oleh para ahli hukum masing-masing negara. Salah satunya yaitu Belanda yang dibela oleh ahli hukumnya yang bernama Hugo de Groot. Ia mengungkapkan pendapatnya dalam buku yang berjudul De Jure Praedae(Hukum tentang Perampasan Perang) yang kemudian pada tahun 1604 Bab XII dari buku De Jure tersebut diterbitkan sebagai buku tersendiri yang berjudul Mare Liberum(Laut Bebas). Dalam buku tersebut Hugo De Groot menentang klaim atas laut oleh negara-negara yang semena-mena. Hugo De Groot mengemukakan pendapatnya jika laut merupakan salah satu sumber dari kekayaan alam yang luas dan tidak akan ada habisnya untuk dimanfaatkan oleh semua negara. Dan tidak ada satu orang pun yang dapat hidup permanen dalam jangka waktu yang lama. Karenanya laut harus merupakan hak dari semua negara.

Pada tahun 1613 seorang sarjana dari Inggris John Shelden dan William Wellwood dalam bukunya Mare Clausum serta Abridgement of All Sea Law membela Inggris atas kalim laut utara. Pada periode ini dikenal dengan nama Perang Buku(Battles of the Books).

Kemudian pada tahun 1704 seorang sarjana dari Belanda Cornelis von Bynkershoek dalam bukunya De Dminio Maris Dissertatio(Suatu Essay tentang Kekuasaan atas Laut), ia mengungkapkan pendapatnya agar wilayah laut suatu negara ditentukan dengan sejauh kemampuan jarak tembak meriam dari pantai yang diukur pada waktu air surut. Pandangan ini dikenal sebagai teori jarak tembak meriam(Cannon Shot Rule Theory). Teori ini mulai memunculkan titik terang sebagai lahirnya pranata hukum laut baru yang bernama laut teritorial.

Tahun 1782 Gailani dan Azuni yang merupakan ahli hukum dari Italia mengemukakan pendapatnya agar lebar laut yang menjadi bagian dari wilayah suatu negara yaitu 3 mil laut diukur dari pantai pada waktu air laut surut. Mereka menentukan jarak 3 mil tersebut karena berkaitan dengan netralitas. Pada masa itu berkembang pendapat, bahwa perang di laut tidak boleh dilakukan dalam jarak 3 mil laut dari pantai negara netral. Namun jarak 3 mil tersebut hampir sama dengan jarak tembak meriam. Kemudian jarak 3 mil laut tersebut mulai diterima oleh para ahli hukum dan negara-negara mulai menetapkan lebar laut teritorialnya sejauh 3 mil laut diukur dari pantai pada waktu air laut surut, yang dikenal dengan nama garis pangkal.

Namun pada awal abad ke XX beberapa negara mulai melanggar paeraturan jarak 3 mil laut tersebut dengan melebihkan 3 mil laut. Kemudian muncullah pendapat dari para sarjana, disusul oleh rancangan-rancangan yang diajukan oleh organisasi-organisasi hukum internasional dalam bidang profesi yang independen yang hingga pada akhirnya mendapat perhatian serius dari organisasi internasional antar negara yaitu Liga Bangsa-Bangsa.

Pada tahun 1930 terselenggara Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag, Belanda. Dalam kkonferensi tersebut negara-negara peserta gagal mencapai kesepakatan tentang lebar laut teritorial yang sama. Hal ini terus berlanjut hingga akhir perang dunia II dan berdiri Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Dan permasalahan ini berlanjut menjadi kompleks.

Kemudian pada tahun 1958 terselenggara Konferensi Hukum Laut di Jenewa atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebar laut teritorial menjadi salah satu pembahasan. Namun konferensi tersebut tetap saja tidak mencapai kata kesepakatan.

Tahun 1960 diselenggarakan lagi Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang khusus membahas tentang lebar laut teritorial. Namun lagi-lagi mengalami kegagalan dan lebar laut teritorial dalam keadaan status quo.

Akhirnya Konferensi Hukum Laut PBB pada tahun 1974-1982 menyepakati jika lebar laut teritorial maksimum suatu negara yaitu sejauh 12 mil laut diukur dari garis pangkal, yang aturan ini berlaku hingga sekarang ini.